Sumber foto : Pinterest |
Membaca berita dari
Mojokerto, tentang putusan pengadilan atas kasus kejahatan seksual, membuat saya
tercenung (Solopos, edisi 27 Agustus 2019). topik ini kemudian menjadi bahan
pembicaraan hangat hampir di semua media. Adalah seorang pemuda berusia 20
tahun bernama Muhammad Aris bin Syukur, warga desa Mangelo Tengah Kecamatan
Sooko, Mojokerto Jawa Timur yang dijatuhi pidana penjara selama 12 tahun dan
denda Rp.100 juta. Hukuman atas kejahatan pemerkosaan terhadap 9 anak ini masih
ditambah dengan hukuman tambahan berupa pidana kebiri kimia. Pidana tambahan
inilah yang kemudian menuai kontroversi.
Pihak yang pertama kali
menolak keputusan ini adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ketua Majelis Pengembangan Profesi Kedokteran (MPPK) IDI, Pudjo Hartono menyatakan bahwa hukuman kebiri hilangnya hasrat dan
potensi pelaku untuk mengulangi kejahatan tersebut (tirto.id, 27 Agustus 2019).
Apalagi tindakan kebiri bertentangan dengan kode etik profesi kedokteran. Penolakan
lain datang dari Komnas HAM yang menganggap pidana kebiri sebagai mundurnya
proses hukum pidana di Indonesia.
Sayangnya penolakan ini
tidak akan bisa merubah keputusan pengadilan yang sudah berlaku tetap (inkrah)
dan hanya menunggu waktu untuk dilaksanakan (dieksekusi).
Sosok Sang Predator
Ilustrasi foto narapidana, sumber Pinterest |
Saya tidak hendak
menyoroti bagaimana hukuman ini akan dijalankan, tetapi saya akan berbicara
dari kacamata seorang ibu. Dari yang saya baca, Aris adalah bungsu dari 4
bersaudara. Ibunya sudah meninggal 5 tahun yang lalu atau sekitar tahun 2014.
Sementara ayahnya tinggal di luar kota dan jarang menjenguk keluarganya di
Mojokerto.
Dari catatan di pengadilan, kejahatan tersebut dilakukan tukang las
ini dalam kurun waktu 2015-2018, artinya itu setelah kematian ibunya dan pada
saat itu Aris baru berusia 15 tahun. Menurut kakak tertuanya, Aris sejak kecil
sudah menunjukkan indikasi gangguan kejiwaan, sementara dari hasil pemeriksaan
kesehatan Aris dinyatakan sehat secara kejiwaan.
Sayangnya kebiasaan menonton
tayangan porno tidak terkontrol oleh keluarganya sehingga hal ini kemudian
menimbulkan keinginan kuat untuk melakukan sesuatu yang dilarang, lalu memicu
terjadinya tindak kejahatan.
Mulai Dari Keluarga
Nasi sudah menjadi
bubur, peristiwa masa lalu sudah mendapatkan pertanggung jawaban. Apa yang
terlepas dari pengawasan atau pendampingan keluarga seolah memanen akibatnya.
Dari gambaran sosok Aris, ia adalah remaja yang masih membutuhkan bimbingan dan
pendampingan, nyatanya itu tidak didapatkannya sehingga ia terjerumus pada
perbuatan tercela. Lalu apa yang perlu kita lakukan di masa depan? Jawabannya
adalah memperkuat pendidikan keluarga.
Keluarga adalah lingkungan paling dekat
dari seseorang. Dari keluargalah, seorang anak akan mendapat pelajaran pertama
mengenai nilai-nilai dalam kehidupan.
Pelajaran ini kemudian akan makin matang dan berkembang ketika anak
mulai bergaul dengan lingkungann di luar keluarga.
Remaja seusia Aris, pada
saat itu berada pada rentang usia remaja pertengahan (15-18 tahun) dimana sedang
dalam proses perkembangan terbentuknya kepribadian diri sendiri dan masuknya
pengaruh lingkungan (Afin Murtie & re !Media Service, Gramedia 2013).
Seharusnya pada rentang usia ini remaja sudah mulai bertanggung jawab pada
dirinya sendiri dan mulai memikirkan masa depan. Pendampingan orang tua pada
masa ini sangatlah penting, sebagai kontrol bagi anak. Keberadaan orang tua
akan mengingatkan dan merengkuh kembali seorang anak yang mugkin mulai
melanggar nilai-nilai yang diajarkan dalam keluarga.
Nah, poin inilah yang
mungkin hilang dari Aris. Tidak adanya kontrol dari keluarga terhadap apa yang
dilakukannya, tidak ada yang meluruskan atau membenarkan kesalahan yang mungkin
dilakukan. Karena tanpa kendali maka kebiasaan buruk makin menjadi dan seperti
yang kemudian terjadi hingga akhirnya membawa Aris ke bui.
Let’s say, kita bisa memutar balik waktu maka yang sebaiknya
dilakukan terhadap Aris kala itu adalah memberikan sosok pengganti ayah ibunya
yang akan selalu mengawasi dan mengingatkan, sekaligus melindungi dan melimpahi
dengan kasih sayang. Sosok pengganti tersebut harus mampu memberi contoh, dan
menjadi figur panutan.
Lalu supaya tak berjarak, harus pula bisa bersikap
sebagai kawan, bukan sebagai “atasan”. Hal ini untuk menumbuhkan rasa nyaman pada
remaja terhadap rumah atau keluarga, dan pada kondisi ini remaja cenderung
terkendali.
Babak Akhir
Apa yang diputuskan
pengadilan hanya menunggu waktu untuk dijalankan. Sebagai upaya terakhir agar
terhindar dari hukuman kebiri, melalui
kuasa hukumnya, Aris berencana mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahmakah
Agung (MA). Peninjauan Kembali menjadi upaya hukum satu-satunya mengingat vonis sudah inkrah di
tingkat Pengadilan Tinggi Surabaya.
Kini saatnya kita tengok anak-anak kita, jiwa ranum yang membutuhkan sentuhan kasih sayang sempurna dari orang tuanya atau sosok penggantinya.
Jika satu remaja ini terlepas dari pengawasan kita, maka kita masih punya
kesempatan untuk menyelamatkan ribuan remaja lainnya dari kejahatan serupa.
Kelak, jika penguatan pendidikan keluarga ini berhasil, maka di masa yang akan
datang akan tampil pemuda Indonesia yang berkarakter dan berbudi pekerti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar